
Sobat saung blogger kampus, tak terbayangkan disrupsi di dunia kampus meletup hanya karena makhluk sangat kecil. Virus Corona telah merombak tatatan kehidupan sosial. Perubahan akibat virus ini sebut saja dalam penyelenggaraan akademik, mulai proses pembelajaran, bimbingan entah skripsi, tesis atau disertasi. Semua dilakukan secara maya. Layanan administrasi pun mau tidak mau dikerjakan paperless.
Sebelum pandemi, jangan bayangkan untuk bisa menggunakan tanda tangan scan karena dianggap tidak sah. Namun saat pandemi, scan tanda tangan pun menjadi sebuah kebiasaan. Layanan paperless yang dulunya dianggap mustahil, sekarang menjadi standar pelayanan minimal selama pandemi. Nampaknya era disrupsi sudah dimulai meski terpaksa. Istilah nya radical change meminjam jargon dalam teori manajemen perubahan. Ketergantungan akan ICT semakin
menjadi. Lietarasi digital tentu meningkat meski terpaksa. Silakan saja diadakan survey literasi digital. Hasilnya pasti mengejutkan. Konsep virtual university yang dulunya hanya sebatas wacana dan lebih banyak menjadi bahan diskusi
seminar. Nampaknya akan menjadi realita dalam waktu tidak terlalu lama lagi.
Perkuliahan tanpa batas dan jarak segera terwujud. Kampus tidak perlu lagi membangun gedung perkuliahan dan kantor yang megah. Virtual university tidak perlu gedung dan kursi kuliah. Toh tidak akan ada lagi mahasiswa dan dosen yang bercengkrama akademik di ruang kuliah. Semua dipindahkan di berbagai platform aplikasi pembelajaran, semisal Google class room, Microsoft team, atau Learning Management Systems (LMS) yang dibangun oleh
perguruan tinggi. Setali tiga uang dalam bisnis. Model bisnis startup digital yang sedang tren tidak memerlukan ruang kantor. Cukup sewa co-working space, produktifitas mereka tetap tinggi.
Efektifitas perubahan moda kuliah menjadi perdebatan seru di ruang publik. Mereka yang pro beropini efektif mengingat fleksibilitas waktu dan tenaga dalam mentransfer pengetahuan. Disamping keraguan mereka terhadap
keberhasilan program vaksinasi masal. Sedangkan pihak kontra berpendapat perkuliahan daring tidak mengakomodir penanaman sikap yang justru untuk konteks Indonesia jauh lebih penting dibandingkan penguasaan pengetahuan dan ketrampilan. Ditambah persoalan infrastruktur teknologi komunikasi dan informasi yang belum merata dari ujung pulau Sabang sampai Merauke. Belum lagi mahalnya paket internet yang menjadi beban mahasiswa selama perkuliahan daring. Biaya ini tentunya lebih terasa berat bagi kelompok mahasiswa kategori marjinal.
Lalu bagaimana kampus harus menyikapi? Disrupsi teknologi bagaimana pun sebagai sebuah keniscayaan. Dengan atau tanpa kejadian pandemi toh kita menyaksikan kemajuan teknologi informasi berlangsung sangat cepat.
Warga kampus tidak boleh apatis dan berdiam diri jika tidak ingin tergerus perubahan lingkungan akibat kemajuan teknologi informasi.
Perkembangan pesat bidang teknologi digital seyogianya dikuti sejak bijak. Sisi positif pemanfaatan teknologi harus jauh lebih besar dibandingkan aspek negatifnya. Kampus harus menyiapkan warganya untuk melek digital sehingga mempermudah proses bisnisnya. Namun secara bijak, penanaman nilai dan sikap tetap diperhatikan dengan baik. Tentu kita tidak ingin menghasilkan lulusan yang mumpuni dalam penguasaan teknologi infromasi, namun miskin nilai dan sikap baik. Karena perubahan nilai dan sikap ke arah yang lebih baik itulah makna besar dari proses pendidikan yang tidak akan mampu hanya dengan mengandalkan teknologi. Kita tentu tidak ingin mencetak lulusan sebagai robot pintar, namun lulusan yang yang berkarakter.
Kurikulum kampus seyogianya mengakomodir kompetensi abad ke-21. Mahasiswa harus diarahkan mampu berpikir kritis (Critical thinking) dalam menghadapi beragam persoalan kehidupan. Mahasiswa juga harus diarahkan untuk
memiliki kreatifitas melahirkan ide dan gagasan orisinal (Creative). Mahasiswa harus mampu menjalin kerjasama dengan orang lain (Collaborative). Sebagai bagian dari masyarakat global, mahasiswa diajarkan bagaimana cara berkomunikasi yang baik (Communication). Dan tidak kalah pentingnya, mahasiswa dibekali digital literasi untuk menghadapi revolusi industri 4.0.
Akhirnya, kita dapat mengambil hikmah positif dari pandemi Covid-19. Kampus dipaksa berubah dengan lebih mendayagunakan teknologi digital agar tetap bisa melaksanakan proses akademik. Semoga pandemi ini segera
berakhir.